Nergriku yang Belum Sehat

Hari ini tepat hari lahir (menurut KTP dan ijazah sekolah), biasa kalau orang kampung yang lahirnya di paraji alias dukun beranak, suka lupa tanggal lahir persisnya kapan. Termasuk saya, yang akhirnya menyesuaikan tanggal lahir dengan usia masuk sekolah dasar, supaya cukup 7 tahun saat itu. Jadi, terpilihlah tanggal 6 Agustus 1974; masuk usia 35, masa akhir dari status sebagai pemuda menurut RUU Kepemudaan yang sampai saat ini belum tuntas dibahas.

Saya baru menyadari, masa expired sebagai pemuda menurut RUU ini, ternyata diikuti oleh berakhirnya masa berlaku SIM A dan SIM C. Bersegeralah saya menuju ke tempat perpanjangan SIM.

Sampai disana, sudah banyak yang antri. Di depan gedung, ada spanduk yang ramah sekali, gambar polwan dan penjelasan biaya untuk pembuatan SIM Rp 75.000 dan perpanjangan SIM Rp 60.000. Saya masuk ke ruangan. Langsung disambut oleh seorang petugas yang masih muda…:
“Selamat pagi Pak”
“Pagi…” jawab saya
“Ada yang bisa saya bantu…” tanyanya ramah lagi
“Saya mau perpanjangan SIM”..kata saya, sambil menunjukkan berkas.
“Ke ruangan sebelah saja Pak, saya antarkan”

Saya mengikuti petugas muda itu masuk ke ruangan ujian. Dia memeriksa berkas saya dan menanyakan beberapa hal:
“Wah..namanya sama dengan nama Bapak saya nih…” basa basi
“Pekerjaannya apa Pak? swasta ya?” tanya dia lagi. Di sebelahnya ada seorang polwan, masih muda juga…
“Saya penulis pak” jawab saya
“Nulis buku apa?”
“Yang terbaru, Saldo dan Bidadari Surga” kata saya, sambil promo
“Tentang apa tuh Pak” dia bertanya, sambil terus meriksa berkas
“Itu..tentang seseorang yang ingin disambut bidadari di surga, makanya ngumpulin saldo amal baik dan mengurangi saldo perbuatan buruk di dunia”… kata saya lagi, ngga ada maksud apa-apa.
“Oh gitu…..” Dia selesai memeriksa berkas…
“Bapak sudah punya surat keterangan sehat?” tanya petugas muda itu.
“Belum Pak” jawab saya
“Mau buat sendiri atau saya yang urus, biar cepet aja…tapi jangan ditulis ya?” kata dia lagi…
Hmmmm…. mulai nih…..saya jadi penasaran, apa ini nawarin bener-bener atau apa? Ikutin deh..
“Silahkan saja, sesuai prosedur” kata saya. Entah prosedur apa yang di persepsi. Entah sama atau tidak.
“Silahkan Bapak tunggu di luar, nanti tunggu panggilan…”
Saya duduk di luar, di tengah orang-orang yang membuat atau memperpanjang SIM. Sama-sama nonton Mbah Surip.
Tidak sampai 10 menit, saya dipanggil lagi oleh petugas muda tadi.
“Ikut saya Pak….”
Saya diajak ke ruangan, tidak normal ruangannya, seperti gudang, karena disitu ada kardus-kardus. Disitu juga sudah ada petugas berseragam dan seorang yang sedang berbicara.
“Sudah beres Pak..untuk 2 SIM biayanya 120.000, 2 surat keterangan sehat 40.000; total 160.000. buat saya terserah bapak saja.”
Saya kaget juga. Saya diminta surat keterangan sehat fisik, tapi yang
minta, perlu diperiksa kesehatan psikisnya…
Terpaksalah saya buka dompet, dan menemukan di dompet saya hanya ada uang Rp 361.000. Jadi, kalau saya bayar normal, 160.000, masa ngasih lebihnya 1.000. Padahal 1.000 itu buat parkiran. Jadi bingung. Bingung bukan hanya karena uangnya ngepas, lebih bingung lagi karena, jadi ikut dalam pusaran ‘transaksi yang tak sehat’ seperti ini.
Istighfar saya… mohon ampun sama Allah. Akhirnya saya keluarkan uang Rp 200.000; alias memberi lebih 40.000; semoga saja tak mengurangi saldo amal saya di dunia, sehingga keinginan saya bertemu bidadari surga terhambat. Mohon ampun ya Allah.

Petugas muda tadi dengan senang hati menerima, menagtongi uangnya dan memberikan saya no pembuatan SIM baru. Tak lebih dari 15 menit, saya dipanggil, difoto, dan selesai sudah perpanjangan SIM A dan SIM C-nya…

Duh… Indonesiaku ternyata belum banyak berubah. Saya juga merasa bersalah, karena walaupun terpaksa, tapi membuat petugas muda itu menemukan celah untuk berbuat yang tidak sehat; padahal dia membantu saya membuat surat keterangan sehat.

Saya melihat SIM baru, memasukkannya ke dalam dompet. Kemudian melihat ujian pembuatan SIM C. Lumayan ramai, dan direspon oleh para penonton yang menyoraki keberhasilan atau kegagalan ujian motor itu.

Jadi ingat dengan seorang nenek di Korea Selatan, yang sampai harus ujian 771 kali, menghabiskan dana hingga 41.5 juta; tak lulus-lulus mendapat SIM disana. Mungkin kalau ke Indonesia, tak perlu sebanyak itu dia ujian.

Biar begini Indonesiaku, tetap I Love You FuLL INDONESIA….

0 komentar: